Click Here Now!

Sunday, January 25, 2009

Bertumpu Pada Hati

Bertumpu Pada Hati
Lelaki santun itu duduk di tepi sungai. Ia sudah beberapa lama tidak makan apapun. Lalu sebutir apel yang terbawa arus itu dipungutnya, dan dimakan. Sesaat kebutuhannya terpenuhi. Namun sesaat kemudian hati kecilnya menggugat. "Apel siapa ini? Mengapa aku memakannya tanpa minta izin?"

Lelaki itu menelusur ke hulu, mencari pemilik apel tersebut. Beberapa jauh kemudian ia menemukan pemiliknya. Ia minta tindakannya -makan apel hanyut tanpa izin pemiliknya- tersebut dimaafkan. Abdullah, pemilik kebun, itu bersedia memaafkan dengan syarat tertentu. Yakni agar lelaki itu bersedia menikahi putrinya. "Tapi putriku itu buta, lumpuh, dan bisu," kata Abdullah.

Lelaki itu mengangguk. Ia siap melakukan pekerjaan halal apapun untuk mendapatkan maaf. Hatinya tidak akan pernah tenang sebelum ia mendapatkan maaf itu. Pernikahan pun dilangsungkan. Sang istri, Fatimah, ternyata seorang gadis luar biasa. Cerdas, cantik, dan sama sekali tidak buta, lumpuh dan bisu. "Ia buta dari perbuatan melihat maksiat, lumpuh dari melangkahkan kaki ke tempat-tempat yang tidak benar, serta bisu dari ucapan yang tidak senonoh," kata Abdullah. Mereka dikaruniai anak saleh yang kemudian menjadi tokoh besar sufi, Syekh Abdulqadir Jaelani.

Apa yang membuat ayah Abdulqadir Jaelani begitu bersusah payah mencari pemilik apel yang hanyut di sungai? Bukankah si pemilik tak merasa kehilangan bila sebutir apel dari kebunnya yang luas jatuh ke sungai. Ia juga akan merasa maklum jika ada yang memungut apel itu, dan kemudian memakannya. Ia tentu tidak akan mempersoalkan seandainya tahu siapa yang memakan apel itu. Apalagi ia sama sekali tidak tahu siapa yang memakan apel itu, bahkan tidak tahu kalau apelnya hanyut di sungai.

Tidak demikian bagi seorang saleh sejati seperti ayah Abdulqadir Jaelani. Sebutir apel, dalam keadaan sangat lapar, sungguh berarti bagi perutnya. Namun hatinya tidak dapat menerima apel tak bertuan itu. Hatinya terus terjaga dalam keadaan jernih. Noda setitik pun yang akan mengotori kejernihan hati akan membangkitkan mekanisme untuk membuang jauh noda itu, dan mengembalikan kejernihan hati seperti semula. Hati itu menggerakkan kakinya untuk melangkah, menggerakkan bibirnya untuk minta maaf, dan menggerakkan seluruh jiwa raganya untuk menerima persyaratan apapun buat mendapatkan maaf itu.

Apa yang sebenarnya ada pada hati itu sehingga mempunyai daya gerak yang begitu hebat?

Alquran menyebut istilah hati (qalb) sebanyak 132 kali. Mungkin hati adalah bagian dari diri manusia yang paling sering disebut Allah dalam firman-firman-Nya. Sachiko Murata, profesor bidang studi agama di Universitas New York, menilai banyaknya ayat Quran mengenai hati tersebut sentralitas hati pada diri manusia. Secara harfiah, istilah hati (qalb) berarti membalik, berubah, maju-mundur atau naik turun. Hati itulah yang akan membalik, mengubah, memaju-mundurkan, serta menaik-turunkan manusia. Tidak berlebihan bila hati dipandang sebagai "lokus kebaikan dan kejahatan, maupun kebenaran-kesalahan."

Hati juga menjadi bagian dari diri manusia yang dipandang Allah. "Tuhan tahu apa yang ada di dalam hatimu," firman-Nya seperti termuat pada Surat Al-Ahzab ayat 51. Seorang munafik adalah seorang yang tidak dapat menjaga konsistensi arah hatinya. Hatinya membolak-balik sejalan dengan kepentingan duniawinya. Seorang yang selalu merasa takut bila isi hatinya tersingkap.

Sebuah Hadis menyatakan bahwa Allah tidaklah memandang rupa seseorang. Tidak pula memandang bentuk seseorang itu. Namun, Allah memandang hati orang tersebut.

Lewat hati manusia pula, Allah mengungkapkan kehadirannya pada diri seseorang. Lewat hati seseorang dapat merasakan bahwa Tuhan memang "lebih dekat dibanding urat leher sendiri". Lewat hati, seseorang dapat merasakan hal yang dalam penggambaran sufistik berdasar Hadis Qudsi, "dengan mata-Nya ia melihat, dengan telinga-Nya ia mendengar, dengan tangan-Nya ia menyentuh."

Hati yang akan mengendalikan seseorang hingga tenteram atau gelisah. Hati yang akan menentukan seseorang sukses atau tidak dalam mengarungi gelombang hidup. Bukan hanya yang menyangkut ukhrowi kelak, namun juga yang duniawi yang ada di depan mata. Itu yang menjelaskan mengapa para imam sufi tak henti untuk menekankan pentingnya riyadhah, latihan tanpa akhir untuk mengendalikan hati. Itu yang terus diingatkan tokoh-tokoh yang meniti jalan tasawuf, mulai masa Imam Ghazali di abad ke-12 hingga Abdullah Gymnastiar di abad ke-21.

Di akhir abad ke-11, Abu Sulaih -ayah Syekh Abdulqadir Jaelani- telah membuktikan diri dapat meraih hidup yang utuh dan damai dengan bertumpu pada hati. Semestinya bukti itu semakin jelas di masa 10 abad sesudahnya: sekarang.
( Zaim Uchrowi)

Jumat, 22 Agustus 2003
Dan Jadikanlah Aku Cahaya
Dengan nama Allah yang Maha pengasih dan Maha penyayang

Ya Allah, jadikanlah pada hatiku cahaya dan pada pendengaranku cahaya
Dan pada penglihatanku cahaya
Dan di sebelah kananku cayaha, di sebelah kiriku cahaya
Di hadapanku cahaya dan di belakangku cahaya
Di atasku cahaya dan di bawahku cahaya
Dan jadikanlah aku cahaya

Ya Allah, berikanlah pada hatiku cahaya dan ingatanku "tiada Tuhan melainkan Allah"
Dan bukakanlah rahasia-rahasiaku dengan ingatan "Allah, Allah"
Dan luaskanlah ruhku dengan ingatan Dia, Dialah Allah

Ya Allah, berikanlah cahaya pada hatiku dengan cahaya petunjukMu
Sebagaimana Engkau menerangi bumi dengan cahaya matahariMu selama-lamanya

Dengan rahmatMu, wahai Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Ya Allah, bersihkanlah hatiku daripada syirik, kekafiran dan kemunafikan
Dan kebahagiaan dari Allah atas junjungan kami Muhammad dan atas keluarganya dan sahabat-sahabatnya

Dan segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam
(diwariskan dari alm H. Mokhtar Shihabuddin)


Siapakah mukmin yang tak tersentuh hatinya pada pinta di atas? Saya si bebal ini pun terharu. Pinta tersebut, jika boleh sedikit mengurai kisah keluarga, merupakan doa yang laiknya warisan pihak istri. Disebutkan warisan, karena alm ayah mertua H. Mokhtar Shihabuddin telaten membimbing ke-14 anaknya, untuk mewiridkan amalan-amalannya. Bahkan, hingga menyusunnya, dalam bentuk buku.

Saya si bebal ini, yang berkembang di alam "berbeda", di awal menikah sempat merasa aneh pada tradisi peribadatan keluarga istri. Maklum, kendati mengenyam pendidikan tinggi, mereka membasuh diri pada ritus amalan yang diwariskan, sekaligus dengan keyakinan pada kisah karamah. Amalan tersebut, misalkan, menjadi warisan dari sang ayah yang merupakan anak dari Syeikh Shihabuddin Al Kholidi Al Mandili An-Naqsyahabandi, syeikh dari tarekat Naqsyabandiyah yang "mumpuni" di daerahnya.

Adakah pinta di atas sekadar untaian (kalimat) keindahan? Betul, pinta agar dikelilingi cahaya -- bahkan ''dan jadikanlah aku cahaya'' -- sungguh menggetarkan dawai keindahan di bilik hati. Namun, bukan sekadar keindahan yang menyentuh sanubari. Hasrat untuk mendapatkan kemuliaan-Nya, justru menjadi kemuliaan itu sendiri.

Kenapa? Seperti diriwayatkan, mula proses penciptaan manusia (Adam), berasal dari tanah. Allah pun meniupkan ruh, maka, jadilah Adam. Berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain -- seperti syetan dari api dan malaikat dari cahaya -- manusia mendapatkan kelebihan nafsu: an-nafs al-ammarah yang menggoda manusia kepada kemaksiatan dan an-nafs al-muthma'innah yang merupakan ruh ilahiyah dan mengajak pada kebajikan.

Secara kodrati, manusia senantiasa disetir kedua nafsu, senantiasa dipengaruhi kekontrasan keduanya. Hidup menjadi pertempuran kedua nafsu yang terus menerus berkecamuk di dada seorang keturunan Adam. Tak jarang, nafsu kemaksiatan yang didukung bala pasukan syaitan, menang. Tapi, hai keturunan Adam, bukankah engkau saat hendak dilahirkan telah bersumpah menjadi khalifah kebajikan di muka bumi?

Demi sumpah pada-Nya, kita mesti senantiasa memohon kekuatan-Nya. Tapi, apa arti kekuatanmu hai keturunan Adam, ketika menyadari sesungguhnya hakikat eksistensimu sekadar lempung? Tanah hakikatnya di bawah, terinjak di kaki (betapa kita seringkali alpa pada hakikat penciptaan manusia ketika berada di puncak kekuasaan). Betapa hina sesungguhnya manusia terutama jika lalai pada hakikat eksistensi dirinya.

Permohonan ''dan jadikanlah aku cahaya'' sesungguhnya kesadaran pada kehinaan eksistensi diri. Kesadaran itu memicu pinta untuk menjadi mulia. Cahaya, sejatinya, merupakan suluh yang menerangi. Dapatkah Anda membayangkan hidup macam apa bila tak mendapatkan cahaya? Tanpa cahaya adalah jahiliyah. Manusia tanpa cahaya tak ubahnya babi yang menyeruduk menuruti naluri hewani.

Cahaya, seperti yang diriwayatkan, menjadi hakikat eksistensi alam malaikat. Berbeda dengan manusia, eksistensi cahaya dapat menembus ruang dan waktu. Kecepatan cahaya, menjadi idiom pada sains, untuk melukiskan betapa luar biasa kecepatan tersebut. Tak sekadar pada sains, cahaya menjadi sesuatu yang sangat penting, di bidang spritual. Bahkan, mengutip satu riwayat seperti yang ditulis Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum di bukunya As-Sair Wa As-Suluk, Nabi SAW bertanya pada Jibril, apakah malaikat pembawa wahyu itu pernah melihat Allah. ''Antara aku dan Dia terdapat 40 hijab cahaya, dan seandainya aku mendekat seujung jari saja, niscaya tubuhku terbakar.''

Cahaya, bagi pejalan ruhani yang mencelupkan diri pada suluk, merupakan rahasia antara dirinya dengan Sang Pencipta. Di puncak zikir, setelah melakukan perjalanan melangit, setelah jiwa manusia memasuki alam kudus -- dan dibukakan hijab -- yang berhubungan dengan cahaya-cahaya al-Haq, menemukan kemilau cahaya-Nya meski masih berjarak nun. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki... (QS 24:35).

Seorang Dewi Hughes yang muallaf, bahkan, bersaksi bermimpi bersua Rasulullah SAW. Namun, demikian kesaksian Hughes yang dimuat di Republika (9/8), ia tak dapat melihat wajah Nabi yang bercahaya. ''Seperti kita melihat matahari,'' ujarnya melukiskan. Dengan kecepatan cahaya, misalkan, kita kerap mendengar kisah kekeramatan wali Allah yang dalam sekedipan mata, telah berada di tempat, nun, di seberang lautan.

Ya Allah, jadikanlah aku cahaya. Sebuah pinta yang terus diwiridkan, dengan janji-Nya akan mengabulkan setiap permintaan hamba yang dikasihi-Nya, seseorang menuju derajat kemuliaan.
( Rudy Harahap)

Jumat, 19 September 2003
Mawar di Makam

emak engkaulah perigi kasih yang tak bertepi Sekuntum mawar memekar di atas makam. Tapi, siapakah yang merawat mawar memekar, ketika jasadmu genap setahun bersemayam?

Emak, kasihmu seperti laut tak berbatas. Airnya mengalir kendati engkau telah lama tiada. Bahkan, emak, tak seorang pun mengingkari kasih bunda. Setiap orang, kendati telah memiliki keluarga sendiri, tetap mengenang bundanya. Tak mengherankan, jika ada seorang penguasa di negeri ini, membangun makam orang tuanya laiknya istana.

Mengapa seseorang membangun makam orang tuanya laiknya istana? Istana yang agung menjadi simbol keinginan tak sampai untuk memanjakan orang tua setelah ia berkuasa. Tentu kita tak perlu membuat simbol demikian. Dengan senantiasa mendoakan tentu kita telah dapat membangun 'istana' untuk orang tua. Bukankah agama mengajarkan amal yang tak pernah terputus kendati telah wafat di antaranya doa anak yang saleh.

Betapa dalam makna ajaran tersebut. Bagiku, ajaran itu memiliki kesejatian mendalam terhadap kasih, antara anak dan orang tua. Kenapa? Kendati orang tua telah wafat, melalui ajaran tersebut, secara filosofis menjadi bentuk 'pengasuhan', menjadi semacam imbauan, agar anak yang ditinggal senantiasa memelihara amal-ibadah. Melalui pemeliharaan amal-ibadah dan kesalehan --- bukankah di situ begitu mendalam makna kasih antara orang tua dan anak karena orang tua yang bajingan sekalipun mengidamkan anaknya menjadi saleh --- dikaitkan doa yang mengalirkan pahala kendati orang tua telah wafat. Sayang, kita sering kali alpa memaknai 'anak yang saleh' yang sejatinya merupakan refleksi penghargaan Allah atas bentuk hubungan kemanusiaan anak dan orang tua.

Memang, Allah menyuruh anak berbakti dan menghormati orang tua (lihat QS: Al Ahqaaf mulai ayat 15). Bakti dan hormat itu terutama berkaitan dengan kesudianmu, emak, untuk bersusah payah mengandung. Susah payah itu memuncak saat engkau menyabung nyawa untuk melahirkan kami, anak-anakmu. Perjuangan ini, bahkan, laiknya fi sabilillah. Begitu pun dengan kasih, engkau, merawat kami hingga dewasa.

Begitu pun bertaburan Hadis Nabi SAW berkaitan agar anak berbakti pada orang tuanya. Salah satunya Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orang tua dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orang tua (HR. Al Hakim). Dikisahkan juga ketika seorang sahabat bertanya 'siapa yang paling berhak mendapatkan pelayananku?' Rasul SAW menjawab, ''ibumu... ibumu...ibumu, kemudian ayahmu...'' (Mutaffak 'Alaih).

Bukankah semua itu merefleksikan betapa agungnya orang tua. Bahkan, kisah Malin Kundang, menjadi legenda peringatan bagi anak-manusia agar tak durhaka.

Engkaulah, emak, perigi kasih. Di saat anak-anak dewasa dan membentuk keluarga sendiri, perigi kasihmu seperti zamzam, tak mengering. Aku memahami, keperihan hati seorang bunda, di saat anak-anak meninggalkan rumah untuk memulai kehidupannya. Di saat mereka pergi, siapa lagi yang meneguk air kasihmu? Tapi, betapa suci kasihmu emak, engkau justru tak memedulikan dirimu sendirian dipagut sunyi. Sebaliknya, ikhlas dan mendorong anak-anakmu pergi, membangun rumah tangganya. Engkau, bahkan, mengiringinya dengan doa.

Kepada siapa engkau alirkan kasih ketika airmata di perigi tak kunjung kering? Engkaulah emak yang kaya ketika sederhana. Kesederhanaan pendidikanmu tak mampu membendung sungai kasih yang engkau alirkan kepada sesama manusia. Ketika rezeki sedikit bersisa, engkau membuat cemilan, untuk dibagikan kepada jiran. Engkau memperlakukan mereka tak ubahnya terhadap anak sendiri. Tak mengherankan, mereka pun memanggilmu, ''emak!''

Kasih kepada sesama manusia menyebabkanmu seusai shalat subuh menyapu jalan di depan rumah. Engkaulah kasih yang bersih, emak! Engkau sisihkan kotoran di jalan, engkau rapikan dan tanami kembang di sisi trotoar. Pengguna jalan memang tak pernah mengetahui jika ada seorang perempuan renta di keremangan subuh telah membersihkan sepenggal jalan di depan rumahmu agar mereka nyaman saat lewat. Kesibukan yang bergegas membuat mereka tak mengetahui, bahkan, tak mau tahu. Tapi, emak, kasihmu membuatmu tak berpamrih, tak butuh dikenali orang.

Kami, anak-anakmu, justru yang gemas. Akal pikiran kami yang tersentuh pendidikan tinggi seketika berpikir matematis atas pekerjaanmu. Namun, menanggapi protes anak-anakmu, engkau hanya tersenyum sembari berkata, ''Kalau masih ada tenaga apalah salahnya, kan semua orang enak melihat jika bersih.'' Ucapanmu terdengar remeh tetapi sesungguhnya kaya makna: betapa di balik kesederhanaannya, sarat dengan keikhlasan. Betapa, engkau seorang renta, masih mengajarkan agar hidup tak berpangku tangan tetapi bagaimana menggunakan kehidupan di dunia hingga di akhir hayat memiliki makna bagi individu lain maupun lingkungan. Berguna hingga akhir hayat menjadi kata yang sangat filosofis ketika tak sedikit anak muda di kekinian lebih memilih berpangku tangan jika hitungan penghasilan tak berkesesuaian.

Di sisi lain, terutama setelah engkau tiada, baru kami memahami kegiatanmu di subuh hari, sebagai bentuk ibadahmu. Engkau tak pernah berapi-api berkhotbah, bahkan, selalu mengatakan, ''tak ada kaji emak, kan nggak sekolah.'' Tapi, di sisi Allah, keikhlasan kasihmu, justru menjadi kaji yang mulia. Dan siapa yang menyangka keikhlasanmu membersihkan jalan merupakan bentuk khotbah untuk memelihara kebersihan hati (bila mengingatmu emak, saya malu mengasuh rubrik ini).

Emak, engkaulah perigi kasih yang tak mengering. Setahun setelah engkau wafat, kembang mawar terus memekar di makammu. Allah mempersaksikan melalui kuntum mawar betapa mulia kasih seorang bunda. Tapi, sebagian anak-anakmu heran: siapa yang merawat kembang itu?

Diam-diam, gerimis turun di hatiku: Sekuntum mawar yang memekar karena perigi kasihmu yang mengalirkan rangkaian ibadah semasa hayatmu, tak pernah kering kendati engkau telah wafat. ( Rudy Harahap)




0 komentar:

Post a Comment

 

Comments



Followers

Belajar Bersama Copyright © 2010 Designed by Dwi Isnein Evian Syah.Own Blog