Jumat, 19 September 2003
Mawar di Makam
emak engkaulah perigi kasih yang tak bertepi Sekuntum mawar memekar di atas makam. Tapi, siapakah yang merawat mawar memekar, ketika jasadmu genap setahun bersemayam?
Emak, kasihmu seperti laut tak berbatas. Airnya mengalir kendati engkau telah lama tiada. Bahkan, emak, tak seorang pun mengingkari kasih bunda. Setiap orang, kendati telah memiliki keluarga sendiri, tetap mengenang bundanya. Tak mengherankan, jika ada seorang penguasa di negeri ini, membangun makam orang tuanya laiknya istana.
Mengapa seseorang membangun makam orang tuanya laiknya istana? Istana yang agung menjadi simbol keinginan tak sampai untuk memanjakan orang tua setelah ia berkuasa. Tentu kita tak perlu membuat simbol demikian. Dengan senantiasa mendoakan tentu kita telah dapat membangun 'istana' untuk orang tua. Bukankah agama mengajarkan amal yang tak pernah terputus kendati telah wafat di antaranya doa anak yang saleh.
Betapa dalam makna ajaran tersebut. Bagiku, ajaran itu memiliki kesejatian mendalam terhadap kasih, antara anak dan orang tua. Kenapa? Kendati orang tua telah wafat, melalui ajaran tersebut, secara filosofis menjadi bentuk 'pengasuhan', menjadi semacam imbauan, agar anak yang ditinggal senantiasa memelihara amal-ibadah. Melalui pemeliharaan amal-ibadah dan kesalehan --- bukankah di situ begitu mendalam makna kasih antara orang tua dan anak karena orang tua yang bajingan sekalipun mengidamkan anaknya menjadi saleh --- dikaitkan doa yang mengalirkan pahala kendati orang tua telah wafat. Sayang, kita sering kali alpa memaknai 'anak yang saleh' yang sejatinya merupakan refleksi penghargaan Allah atas bentuk hubungan kemanusiaan anak dan orang tua.
Memang, Allah menyuruh anak berbakti dan menghormati orang tua (lihat QS: Al Ahqaaf mulai ayat 15). Bakti dan hormat itu terutama berkaitan dengan kesudianmu, emak, untuk bersusah payah mengandung. Susah payah itu memuncak saat engkau menyabung nyawa untuk melahirkan kami, anak-anakmu. Perjuangan ini, bahkan, laiknya fi sabilillah. Begitu pun dengan kasih, engkau, merawat kami hingga dewasa.
Begitu pun bertaburan Hadis Nabi SAW berkaitan agar anak berbakti pada orang tuanya. Salah satunya Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orang tua dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orang tua (HR. Al Hakim). Dikisahkan juga ketika seorang sahabat bertanya 'siapa yang paling berhak mendapatkan pelayananku?' Rasul SAW menjawab, ''ibumu... ibumu...ibumu, kemudian ayahmu...'' (Mutaffak 'Alaih).
Bukankah semua itu merefleksikan betapa agungnya orang tua. Bahkan, kisah Malin Kundang, menjadi legenda peringatan bagi anak-manusia agar tak durhaka.
Engkaulah, emak, perigi kasih. Di saat anak-anak dewasa dan membentuk keluarga sendiri, perigi kasihmu seperti zamzam, tak mengering. Aku memahami, keperihan hati seorang bunda, di saat anak-anak meninggalkan rumah untuk memulai kehidupannya. Di saat mereka pergi, siapa lagi yang meneguk air kasihmu? Tapi, betapa suci kasihmu emak, engkau justru tak memedulikan dirimu sendirian dipagut sunyi. Sebaliknya, ikhlas dan mendorong anak-anakmu pergi, membangun rumah tangganya. Engkau, bahkan, mengiringinya dengan doa.
Kepada siapa engkau alirkan kasih ketika airmata di perigi tak kunjung kering? Engkaulah emak yang kaya ketika sederhana. Kesederhanaan pendidikanmu tak mampu membendung sungai kasih yang engkau alirkan kepada sesama manusia. Ketika rezeki sedikit bersisa, engkau membuat cemilan, untuk dibagikan kepada jiran. Engkau memperlakukan mereka tak ubahnya terhadap anak sendiri. Tak mengherankan, mereka pun memanggilmu, ''emak!''
Kasih kepada sesama manusia menyebabkanmu seusai shalat subuh menyapu jalan di depan rumah. Engkaulah kasih yang bersih, emak! Engkau sisihkan kotoran di jalan, engkau rapikan dan tanami kembang di sisi trotoar. Pengguna jalan memang tak pernah mengetahui jika ada seorang perempuan renta di keremangan subuh telah membersihkan sepenggal jalan di depan rumahmu agar mereka nyaman saat lewat. Kesibukan yang bergegas membuat mereka tak mengetahui, bahkan, tak mau tahu. Tapi, emak, kasihmu membuatmu tak berpamrih, tak butuh dikenali orang.
Kami, anak-anakmu, justru yang gemas. Akal pikiran kami yang tersentuh pendidikan tinggi seketika berpikir matematis atas pekerjaanmu. Namun, menanggapi protes anak-anakmu, engkau hanya tersenyum sembari berkata, ''Kalau masih ada tenaga apalah salahnya, kan semua orang enak melihat jika bersih.'' Ucapanmu terdengar remeh tetapi sesungguhnya kaya makna: betapa di balik kesederhanaannya, sarat dengan keikhlasan. Betapa, engkau seorang renta, masih mengajarkan agar hidup tak berpangku tangan tetapi bagaimana menggunakan kehidupan di dunia hingga di akhir hayat memiliki makna bagi individu lain maupun lingkungan. Berguna hingga akhir hayat menjadi kata yang sangat filosofis ketika tak sedikit anak muda di kekinian lebih memilih berpangku tangan jika hitungan penghasilan tak berkesesuaian.
Di sisi lain, terutama setelah engkau tiada, baru kami memahami kegiatanmu di subuh hari, sebagai bentuk ibadahmu. Engkau tak pernah berapi-api berkhotbah, bahkan, selalu mengatakan, ''tak ada kaji emak, kan nggak sekolah.'' Tapi, di sisi Allah, keikhlasan kasihmu, justru menjadi kaji yang mulia. Dan siapa yang menyangka keikhlasanmu membersihkan jalan merupakan bentuk khotbah untuk memelihara kebersihan hati (bila mengingatmu emak, saya malu mengasuh rubrik ini).
Emak, engkaulah perigi kasih yang tak mengering. Setahun setelah engkau wafat, kembang mawar terus memekar di makammu. Allah mempersaksikan melalui kuntum mawar betapa mulia kasih seorang bunda. Tapi, sebagian anak-anakmu heran: siapa yang merawat kembang itu?
Diam-diam, gerimis turun di hatiku: Sekuntum mawar yang memekar karena perigi kasihmu yang mengalirkan rangkaian ibadah semasa hayatmu, tak pernah kering kendati engkau telah wafat. ( Rudy Harahap) |
0 komentar:
Post a Comment