Click Here Now!

Saturday, December 20, 2008

==>>>Seteguk Air<<<==


Oleh: Ahmad Kusyairi Suhail

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS Al Haj [22]: 46).

Urgensi hati

Hati merupakan salah satu organ internis manusia yang terpenting. Ia menjadi tempat seluruh perasaan jiwa, kekuatan berpikir dan keyakinan manusia. Perasaan cinta, benci, bahagia, gelisah, marah, takabbur, tawadhu, yakin dan ragu muncul dari hati.

Karenanya hati sangat menentukan baik dan buruk manusia secara menyeluruh. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, ”Ingatlah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal organ, bila ia baik maka baiklah seluruh tubuh manusia itu. Dan bila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Organ itu adalah hati (qolbu)” (HR Bukhari I/126 dan Muslim XI/27, 28).

Dengan demikian menjaga kesehatan hati berarti menjaga manusia secara keseluruhan. Sedangkan membiarkan hati rusak sama dengan merusak manusia itu sendiri. Hal ini sangatlah rasional mengingat hati adalah tempat bersemayamnya keyakinan yang akan menentukan visi hidup seorang manusia, sumber niat, motivasi, selera dan emosi yang akan mengarahkan amal seseorang dan menentukan mutunya.

Ayat di atas menjelaskan bahayanya hati yang buta yang tidak pernah bisa memahami makna kehidupan dan tidak dapat mengambil ibrah (pelajaran) dari kehancuran kaum-kaum sebelumnya. Tidak bisa membedakan haq (benar) dan batil.

Ketika menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir –rahimahullah- menukil ucapan Ibnu Abi’d Dun’ya, ”Sebagian ahli hikmah pernah mengatakan: Hidupkan hatimu dengan mauizhah (nasehat). Sinari ia dengan tafakkur (kontemplasi, perenungan). Matikan dengan zuhud, kuatkan dengan keyakinan, hinakan dengan kematian, putuskan dengan kehancuran, perlihatkan kepahitan dunia, tanamkan kewaspadaan terhadap perputaran waktu, perlihatkan padanya berita-berita kaum terdahulu, ingatkan dengan apa yang menimpa orang-orang sebelumnya, perjalankan ia ke negeri-negeri mereka dan bekas-bekas peninggalan mereka dan biarkan hati itu melihat apa yang telah mereka perbuat dan kehancuran serta kebinasaan yang menimpa mereka” (Tafsir Ibnu Katsir III/438-439).

Pembagian hati

Merujuk pada ayat-ayat Al Qur’an, para ulama membagi hati menjadi 3 (tiga) macam:

1. Al Qalb As Salim (Hati yang Suci Bersih):

Inilah hati yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat bagi pemiliknya sebagaimana firman Allah: “Pada hari dimana tiada gunanya lagi harta dan anak, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat.” (Q.S. Asy Syu’araa’ (26): 88-89).

Salim atau sehat adalah lawan sakit. Artinya hati tersebut sehat dan selamat dari semua penyakit syahwat yang menentang perintah Allah dan larangan-Nya. Juga sehat dan selamat dari semua penyakit syubhat yang menentang berita-Nya. Karenanya, ia selamat dari penyembahan kepada selain Allah. Jika ia cinta, maka cintanya karena Allah. Dan ia benci, maka bencinya pun karena Allah.

Inilah hati yang bersih dari noda, sehingga menjadi jernih dalam melihat, menimbang dan menilai sebuah masalah. Ia menjadi lembut dan memiliki empati, sehingga mudah tersentuh, memiliki kecerdasan emosi, sehingga menjadi sangat terkendali dan jauh dari sifat-sifat kekakuan, kekasaran dan kekerasan. Sementara itu kuat artinya tahan bantingan, tidak mudah retak apalagi pecah. Hati yang bersih melahirkan sifat sabar tangguh, tidak mudah kusut dan menyerah ketika menghadapi ujian, tantangan, dan cobaan.

Walhasil, terkumpul padanya semua jenis kebaikan dan kebajikan. Dalam konteks kehidupan rumah tangga, maka hati yang bersih yang dimiliki oleh seorang suami dan istri akan menghadirkan keharmonisan kehidupan rumah tangga sehingga menjadi rumah tangga SAMARA.

2. Al Qalb Al Mayyit (Hati yang Mati):

Hati yang tidak ada kehidupan di dalamnya sehingga tidak mengenal Rabbnya dan senantiasa hidup dalam gelimang dosa dan maksiat. Tidak pernah bisa berubah meskipun sudah dibombardir dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Nabi saw seperti disinyalir dalam firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat" (QS Al Baqarah [2]: 6-7).

Hati yang semacam ini jika sudah menang dengan syahwatnya, maka tidak akan pernah memperdulikan lagi Tuhannya ridha atau tidak. Karenanya, ia menyembah kepada selain Allah. Jika ia cinta, maka cintanya karena hawa nafsunya. Dan jika ia benci, maka bencinya pun karena hawa nafsunya. Hawa nafsu benar-benar menjadi imamnya. Panglimanya adalah syahwat. Sopirnya adalah kebodohan dan kendaraannya adalah kelalaian.

Karenanya bergaul dengan pemilik hati ini adalah penyakit. Berinteraksi dengannya adalah racun dan duduk bersamanya adalah kebinasaan.

Hati yang buta sebagaimana disinggung ayat di atas adalah analogi dari hati yang mati ini. Selain itu, Al Qur’an menyamakan jenis hati ini dengan dengan batu yang keras sebagaimana firman Allah, “Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, atau lebih keras dari itu ……” (QS Al Baqarah [2]: 74), yang dicirikan dengan munculnya sifat-sifat tercela.

Ibarat besi, hati yang mati itu telah berkarat sehigga susah –jika tidak boleh dibilang mustahil – untuk diharapkan hidup, apalagi bersih.

Allah swt berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian). Bahkan telah menutupi hati mereka karena apa-apa yang mereka kerjakan.” (QS Al Muthaffifin [83]: 14). Sehingga yang dominan dalam hidupnya adalah kekufuran, kezhaliman, dan kemaksiatan serta keburukan.

Dan Al Qur’an ketika menyinggung hati yang mati, konteksnya adalah orang-orang kafir. Karena itu, seorang mukmin harus selalu mewaspadai diri untuk menjauh dari hati yang mati ini. Keluarga SAMARA hanya ada dalam mimpi tidak akan pernah terealisasi jika suami dan istri hatinya mati.

3. Al Qalb Al Maridh (Hati yang Sakit):

Hati yang terdapat di dalamnya kehidupan, namun juga terdapat penyakit. Antara Mahabbatullah (mencintai Allah) dan Mahabbatusy Syahawaat (mencintai syahwat) bertarung dan berkecamuk menjadi satu dalam hati. Inilah hati orang-orang munafik. Allah swt berfirman: "Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta" (QS Al Baqarah [2]: 10).

Al Qur’an menyinggung hati yang semacam ini ketika berbicara tentang sifat-sifat orang-orang munafik. Karenanya jenis hati ini pun berbahaya. Namun, masih ada harapan untuk sembuh. Sebab, setiap penyakit pasti ada obatnya.

Akhirnya, mari kita hati-hati dengan hati kita. Karena masa depan manusia ditentukan oleh hati. Shalat, zakat, infak, sedekah, puasa, haji, tilawah Al Qur’an, memperbanyak dzikir, tafakkur, aktif berdakwah dan beragam amal shalih lainnya adalah terapi hati yang pasti jitu karena hal itu perintah Ilahi.



0 komentar:

Post a Comment

 

Comments



Followers

Belajar Bersama Copyright © 2010 Designed by Dwi Isnein Evian Syah.Own Blog