Click Here Now!

Saturday, August 23, 2008

Indonesia Merdeka!!!!!!!

Indonesia sekarang sudah berumur 63 thn. Tetapi kok masih ada yang korupsi atau kasus yang lainnya. Apa kata dunia???? he3x

Seperti apa Indonesia pada tahun 2045? Gambaran yang membesarkan hati atau suramkah? Bagaimana meletakkan Indonesia merdeka tidak hanya sebagai sebuah peringatan tetapi terutama permulaan menuju perwujudan cita-cita bangsa yang sukses dalam berbangsa dan bernegara? Generasi pembebas (Angkatan 45) telah memainkan perannya yang menentukan: memerdekakan Indonesia dari kolonialisme. Namun, tugas membangun Indonesia merdeka belum tuntas.
Dalam pidato peringatan setahun Indonesia merdeka, Sjahrir, salah seorang founding fathers republik, menggarisbawahi bahwa kemerdekaan hanya jembatan menuju bangsa yang manusia-manusianya percaya pada kemanusiaan, yang manusia-manusianya menaruh harapan pada masa depan yang bebas dari penindasan, yang manusia-manusianya menjauhkan diri dari cara-cara licik dalam berpolitik dan tidak haus kekuasaan.
Berkaca pada banyaknya korban yang jatuh secara mengenaskan dalam pengalaman berbangsa dan bernegara selama ini, betulkah kita telah menjadi bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan? Bukankah di sekitar kita kian banyak insan politik yang haus kekuasaan? Bukan citra anggota parlemen dan pejabat negara kian jauh dari jati dirinya yang luhur sebagai wakil dan pelayan rakyat?
Ketika baru dua bulan merdeka, Sjahrir mengingatkan elite politik saat itu untuk tidak puas dengan revolusi nasional saja (kemerdekaan secara politik), yang tak kalah pentingnya adalah revolusi kerakyatan (Perjuangan Kita, Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik ”GUNTUR 49”, 1994). Mentalitas masyarakat harus berubah, dari yang tadinya berorientasi feodal menjadi demokratis, bertumpu pada kemanusiaan dan keadilan sosial.
Meski para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri berjasa amat besar mengurangi tingkat pengangguran di dalam negeri, pemerintah hanya tahu menangguk devisa dari warganya yang memeras keringat di negeri orang, bahkan membiarkan mereka diperas (aparat) pemerintah.
Baru-baru ini para pelajar Indonesia juara olimpiade fisika dengan cepat ditawari beasiswa oleh pemerintah Singapura untuk melanjutkan sekolah di negeri itu. Namun, ketika salah seorang dari mereka berniat sekolah dulu di ITB dan baru program pasca-sarjana di MIT, ia harus bolak-balik tes masuk ke Bandung.
Belum lama ini di Pelabuhan Makassar yang menyandang nama besar proklamator Soekarno-Hatta terekam sebuah pemandangan ironis. Beberapa ibu pedagang kaki lima memakai bambu runcing melawan aparat pemerintah yang dengan beringas dan pongah memorakporandakan tempat mereka berjualan. Dulu bambu runcing dipakai untuk melawan penjajah asing, kini melawan (aparat) pemerintah yang tak berpihak pada rakyat.
Kemerdekaan tidak otomatis memerdekakan rakyat dari kesewenang-wenangan, kemiskinan, dan kebodohan. Itu sebabnya Sjahrir memandang perlu demokratisasi pemerintahan dari tingkat pusat sampai desa. Pemerintah diisi birokrat yang demokrat dan berjiwa kerakyatan. Partai memiliki ideologi yang kuat, organisasi yang rapi, tak perlu banyak anggota namun kerjanya efisien. Visi bangsa merdeka dari Sjahrir adalah membangun martabat bangsa. Pembangunan merupakan proses pembebasan manusia (Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan, Jakarta: LP3ES, 1983).
Setelah dua abad merdeka, generasi pembebas Amerika Serikat boleh bernapas lega sebab mereka berhasil merampungkan tugas sejarahnya dengan melahirkan Amerika yang kuat, makmur, dan maju. Namun, tidak demikian dengan generasi pembebas Amerika Latin sebab sampai kini kebanyakan negara di wilayah itu masih lemah, miskin, dan terbelakang.
Berangkat dari kenyataan itu, TB Simatupang menaruh keprihatinan besar apakah Angkatan 45 mampu merampungkan tugas sejarahnya melahirkan Indonesia menjadi bangsa yang kuat, makmur, dan maju seperti cita-cita para pendiri republik (Harapan, Keprihatinan, dan Tekad: Angkatan 45 Merampungkan Tugas Sejarahnya, Jakarta: Inti Idayu, 1985).
Setelah 59 tahun merdeka, banyak hal telah dicapai dalam pembangunan fisik. Namun, Indonesia belum bebas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Indonesia belum merdeka menjadi bangsa yang mandiri. Indonesia masih dipandang sebelah mata oleh bangsa-bangsa lebih maju. Problemnya pertama-tama bukan karena kita miskin secara material, tetapi karena daya saing kita sebagai bangsa lemah.
Dalam era globalisasi dan persaingan internasional yang ketat, kata kunci adalah daya saing bangsa. Indonesia kerap disalip bangsa lain karena pemerintah terlena dari membangun bangsa yang kuat dan mandiri. Lihatlah tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia di ASEAN terendah dan pemerintah tak serius untuk meningkatkan keterampilan pekerja Indonesia. Kita krisis sumber daya manusia yang berkualitas.
Daya saing bangsa Indonesia lemah. Pemerintah terlalu sedikit memotivasi rakyat untuk menjadi bangsa yang kuat, bermartabat, disegani. Nasionalisme kita masih sempit dan tipis. Terlalu mudah isu ”intervensi asing” dilontarkan tanpa kita sendiri bercermin bagaimana duduk persoalan sebenarnya dan keadaan kita yang sesungguhnya. Bukankah bangsa dibuat keropos karena ulah orang sendiri?
Kitalah atau, tepatnya, pemerintahlah yang paling bertanggung jawab atas kegagalan pembangunan manusia. Menurut Human Development Report 2004, Indonesia termasuk dalam kriteria menengah bersama negara-negara ASEAN lain dengan peringkat 111, namun posisi itu jauh di bawah negara-negara lain yang juga termasuk kelas menengah (Filipina 83, Thailand 76, Malaysia 59).
Pembangunan manusia sebagian besar masih dibiayai melalui belanja masyarakat. Alokasi anggaran untuk kesehatan dan pendidikan di Indonesia tercatat sebagai terendah dibandingkan negara ASEAN lain.
Yang memprihatinkan adalah peringkat Indonesia terus turun dari tahun ke tahun, sehingga tanpa komitmen politik yang serius, masa pembangunan sosial di Indonesia suram.
Elite politik tidak memiliki political drive pembangunan sosial. Mereka umumnya puas dengan kondisi bangsa yang sedang-sedang. Padahal, dalam alam kompetisi global dengan semboyan survival of the fittest and the fastest, tak ada tempat untuk bangsa mediocrity. Jika Indonesia enggan berubah secara cepat dan drastis untuk memperbaiki diri, ia tak akan bisa mandiri dan tersingkir dari percaturan globalisasi.
Lihatlah betapa seriusnya RRC memerangi korupsi sebagai musuh negara sehingga koruptor di sana dihukum mati. Tetapi, Indonesia menjadi surga bagi koruptor. Penguasa negeri tidak sungguh-sungguh bertobat mendapati kenyataan bahwa budaya korupsi telah berurat akar dalam birokrasi.
Setiap tahun biaya pungli yang dibayar pengusaha di sektor industri manufaktur yang beriorientasi ekspor mencapai Rp 3 triliun, sebuah angka yang masih amat moderat. Dapat dibayangkan betapa besarnya total pungli di semua sektor. Betapa tingginya tingkat inefisiensi kita. Buruk sekali kinerja birokrasi kita yang korup (uang dan waktu), yang melayani dengan moto ”bila bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah.” Jika korupsi dipangkas secara drastis, bukankah akan banyak dana dapat dihemat dan disalurkan kepada pembangunan manusia?
Karena itu, jangan anggap remeh moralitas bangsa sebagai salah satu pilar kokoh kemajuan. Belanda dulu mudah menjajah kita begitu lama karena didukung feodalisme pribumi yang korup. Pemberantasan KKN di Tanah Air kita masih jalan di tempat, untuk tidak mengatakannya lebih mundur. Nasib wong cilik tidak lebih baik. Sebagian besar rakyat masih jauh dari penghidupan yang adil sejahtera.
Indonesia akan semakin terbelakang dan tertinggal, bila penguasa tidak mengambil tindakan drastis dalam penyelenggaraan negara. Dibutuhkan tindakan radikal untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Tak ada jalan lain kecuali hadirnya sebuah pemerintahan yang kuat, bersih, dan berwibawa, untuk merampungkan tugas generasi pembebas yang belum rampung. Membangun bangsa merdeka.

Penulis adalah pemerhati sosial

0 komentar:

Post a Comment

 

Comments



Followers

Belajar Bersama Copyright © 2010 Designed by Dwi Isnein Evian Syah.Own Blog